Daerah
Sintang, pada masa pemerintahan Belanda (sekitar tahun 1936) merupakan
daerah landschop di bawah naungan pemerintahan Gouvernement. Daerah
Landschop ini terbagi menjadi 4 (empat) onderafdeling yang dipimpin oleh
seorang controleur atau gesagkekber, yaitu :
1. Onderafdeling Sintang, berkedudukan di Sintang.
2. Onderafdeling Melawi, berkedudukan di Nanga Pinoh.
3. Onderafdeling Semitau, berkedudukan di Semitau.
4. Onderafdeling Boeven Kapuas, berkedudukan di Putussibau.
Sedangkan daerah kerajaan
Sintang yang didirikan oleh Demang Irawan (Jubair I) dijadikan daerah
swapraja Sintang dan kerajaan Tanah Pinoh dijadikan neo swapraja Tanah
Pinoh. Pemerintahan Landschop ini berakhir pada tahun 1942 dan kemudian
tampuk pemerintahan diambil alih oleh Jepang.
Pada masa pemerintahan Jepang
ini, struktur pemerintahan yang berlaku tidak mengalami perubahan hanya
sebutan wilayah kepala pemerintahan yang di-sesuaikan dengan bahasa
negara yang memerintah ketika itu. Kepala negara disebut Kenkarikan
(semacam Bupati sekarang) sedangkan wakilnya disebut Bunkenkarikan dan
di setiap kecamatan diangkat Gunco (Kepala Daerah).
Setelah adanya pengakuan
kedaulatan dari pihak Belanda kepada pihak Indonesia, kekuasaan
pemerintahan Belanda yang disebut Afdeling Sintang diganti dengan
Kabupaten Sintang, Onderafdeling diganti dengan Kewedanan, Distric
diganti dengan Kecamatan. Demikian pula halnya dengan jabatan Residen
diganti dengan Bupati, kepala Distric diganti dengan Camat dan yang
menjadi Bupati Sintang pada waktu itu adalah Bapak L. Toding.
Untuk merealisir pelaksanaan UU
No. 3 tahun 1953, UU No. 25 tahun 1956 dan UU No. 4 tahun 1956 tentang
pembentukan DPRD dan DPR Peralihan, maka pada tanggal 27 Oktober 1956
dilaksanakanlah pelantikan keanggotaan DPRD Peralihan Kabupaten Sintang.
Selanjutnya sesuai Keppres No. 6 tahun 1959 tanggal 6 Nopember 1959,
maka azas dekonsentrasi dan desentralisasi sebagai realisasi pelaksanaan
UU No. 3 tahun 1953 dihimpun kembali dalam satu tangan Bupati Kepala
Daerah yang dibantu oleh Badan Pemerintahan Harian yang kemudian diatur
lebih lanjut dalam UU No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah. Selain itu, dengan instruksi Mendagri No. 3 tahun 1966 tanggal 1
Pebruari 1966 jalannya roda pemerintahan daerah di seluruh Indonesia
mulai diarahkan dan disempurnakan.
Berdasarkan Peraturan daerah
Kabupaten Sintang Nomor 14 tahun 2000 pemerintahan kabupaten Sintang
dibagi menjadi 21 pemerintahan kecamatan kemudian disesuaikan kembali
setelah adanya undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2003
tentang pembentukan Kabupaten Melawi yang berasal dari sebagian wilayah
Kabupaten Sintang sehingga Kabupaten Sintang saat ini menjadi 14
pemerintahan kecamatan.
Daerah Pemerintahan Kabupaten
Sintang pada tahun 2005 terbagi menjadi 14 Kecamatan, 6 Kelurahan dan
183 Desa, Kecamatan terluas adalah Kecamatan Ambalau dengan luas 29,52
persen Kabupaten Sintang sedangkan luas masing–masing Kecamatan hanya
berkisar 1–29 persen dari luas Kabupaten Sintang.
Sintang Merupakan Daerah dengan Sejarah Panjang
Belakangan ini, Pemkab Sintang
dibingungkan ketiadaan data untuk menentukan hari jadi kota Sintang. Tak
dapat di sangkal, Sintang adalah sebuah kota dengan sejarah panjang.
Sayangnya, apa yang di ketahui sekarang masih berupa tutur-tinular(
cerita yang berkembang dari mulut ke mulut ). Orang bijak berabad-abad
lalu pun telah mengerti bahwa; Verba Volant, Scripta menent ( yang di
ucapkan akan lenyap, yang tertulis akan tetap ada).
Sementara itu, data-data
tertulis masih bersemayam dengan apik tak terusik nun jauh di negeri
Belanda sana. Kendati dalam cerita lisan, Perjalanan sejarah Kota
Sintang seakan miskin gejolak dan peristiwa heroik, tentu ada hal lain
yang menarik.
Memang, sebuah kotabersejarah
tak harus di bangun hanya dengan peristiwa heroisme. Pada masa
pemerintahan Bupati Simon Djalil langkah pertama untuk penggalian
sejarah telah di ayunkan, dengan mengunjungi Royal Tropical Institut
(Tropen musium) di negeri Belanda.
Dilanjutkan dengan terbentuknya
ikatan kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Sintang dengan Royal
Tropical Institut. Cikal bakal suprastruktur untuk mengelola
arsip-arsip sejarah.(Museum Budaya) nampaknya sudah mulai di persiapkan,
dengan adanya internal recuiting, di lanjutkan dengan pendidikan khusus
terhadap personil hasil recuiting tersebut. Langkah ke arah itu telah
lebih siap lagi.
Sintang sebagai bakal calon
Ibukota Propinsi, tentu harus punya predikat plus dari kota lainnya.
Sintang berpeluang juga menjadi salah satu kota tujuan penelitian
sejarah. Mengapa Demikian??
Kendati setiap daerah memiliki
riwayatnya sendiri-sendiri, namun kelengkapan data sejarah di suatu
wilayah yang berdekatan, akan dapat menjadi pusat acuan untuk daerah
lain, utamanya yang berkaitan dengan masa pemerintahan Nenderlandsch
Indie dan masa pemerintahan Swapraja. Mudah-mudahan dalam perjalanan
waktu, dapat pul adi temukan catatan Coornelis Van Djik atau BJ Boland,
Sejarawan Belanda yang terkenal getol mencatat sejarah di
pelososk-pelosok nusantara di era pasca kolonial di awal tahun 50-an.
atau bahkan dapat bertemu langsung dengan Antropolog Coen Holtzappel,
Seorang oeneliti sejarah pengembangan desa di masa kolonial dari
Univercity of Amsterdam.
Dapat juga menelisik berita yang
di tulis di tahun 1800-an. Pada harian yang sudah ada kal itu, seperti
harian Nieuwe Courant atau De Java Bode. Siapa tahu dapat di temukan
catatan Paul Vanter atau bahkan bisa di temukan catatan tentang De
Tebidah Oorlog (Perang Taebidah) Kesamaan sistemadministrasi di wilayah
yang berdekatan dapat saja terjadi.
Mengingat para Staatsamtenaar
(Pejabat Negara) kalai tu, tentu haris berpedoman kepada Staatkunde
(kebijakan politik) Kerajaan Belanda yang berlaku saat itu. Dan Borneo
adalah bagian dari Staatsdomain (Wilayah Milik kerajaan) penjajahan
Belanda, sesuai Regeringsreglement 1922.
Letak Geografis Sintang yang
terletak di dua cabang sungai besar, pasti mempunyai nilai besar dan
penting di mata pemeritahan Nenderlandsch Indie, Setidaknya dalam bidang
ekonomi,. Asumsi ini di perkuat lagi dengan bukti berdirinya
Staatsbedrijf (Perusahaan negara) di nanga jetak, kendati sebetulnya
lebih merupakan staatsexploitatie (goverment exploitation). Nah, apakah
kita hanya mengharpkan kapan sajaarsip tersebut dikirimkan ke sini, atau
kita yang mengambil inisiatif dengn menjemputnya ke sana?
Nah, apabila akan di jemput,
persoalannya kemudian adalah, siapa yang paling pas untuk di tunjuk
sebagi duta sejarah guma menjemput duplikat data- data sejarah itu.
Tentu tak cukup hanya menunjuk person yang hanya berbekal identitas
sebagai pegawai negeri. Idealnya pemerintah mengutus person pewaris
sejarah itu, misalnya Sultan Sintang, yang di dampingi wakil2 etnis
utama, yaitu etnis yang sudah dominan pada masa kolonial dahulu. Tentu
saja, apabila penjemputan duplikat data2 sejarah itu dapat terwujud,
maka akan jadi peristiwa nasional yang monumental, dan merupakan bagian
dari sejarah itu sendiri.
Namun
demikian untuk memperoleh informasi tentang sejarah Sintang kiranya
buku yang berjudul SEJARAH SINTANG (THE HISTORY Of SINTANG) a collection
of books, manuscripts, archives and articles karangan Drs. Anouk Fienieg, MA dapat
dijadikan referensi dalam upaya menggali kebenaran Sejarah Sintang.
Ringkasan Buku tersebut dapat dilihat pada slide berikut dibawah ini..
Risensi Buku
0 komentar:
Posting Komentar